Ads 468x60px

Rabu, 09 Januari 2013

Kereta Raksasa



Kereta Raksasa
Karya Dasmo Rahardiyanto


Malam dingin menggigil. Udara terasa membekukan sendisendiku. Angin yang berhembus disertai derasnya hujan, membuat malam semakin terasa keparat. Gemercik air hujan terdengar berjatuhan membentuk simfoni alam yang menggelisahkan. Kecuali suara kodok yang menjengkelkan, tak terdengar binatang malam yang berbunyi. Aku duduk termangu terjebak hujan di sebuah stasiun. Hujan seperti tumpah. Malas rasanya aku pulang berhujan-hujan. Kunyalakan sebatang rokok. Kuhisap dalam-dalam sambil kusandarkan badanku pada salah satu kursi fiber yang berjejer di halaman stasiun itu. Hah, lelah betul aku hari ini, gerutuku. Sebagai karyawan kecil di sebuah perusahaan swasta, seharian bekerja selalu membawa dan menyisakan kele-lahan luar biasa. Tidak jarang pula membawa pulang sakit hati dan menjemukan, dan ke-sengsaraan yang seperti mengolok-olok nasib wong cilik. Apakah kesalahanku sama dengan stasiun ini? Stasiun yang sudah tua, kelihatan pucat ditelan masa. Renta, jorok, tidak terawat. Sosoknya yang dulu barangkali gagah, kini lemas kedinginan, berantakan.

Hujan semakin deras. Suara kereta terdengar menderu dari kejauhan. Tak lama kemudian kulihat kereta yang padat siap memuntahkan penumpangnya yang berjejalan, lalu serabutan menyerbu dan memasuki stasiun. Pengeras suara mewartakan jalur yang akan dilintasi kereta itu. Belum juga kereta itu berhenti benar, para penum-pang berhamburan dari dalamnya. Muntahan kereta itu, tumpah-ruah memenuhi peron. Suara derap sepatu dari para penumpang segera memecah kesunyian. Wajah-wajah lelah, bau busuk keringat, dan pakaian yang lusuh, seperti berseliweran mengganggu mataku.

Di antara temaram lampu-lampu yang menyinari stasiun, kudengar deru mobil sekali-sekali melintas di bawah air hujan. Sementara itu, beberapa meter dari tempatku duduk, sekelom Tepat di atas kepalaku tergantung sebuah tulisan yang tidak jelas hurufnya terbuat dari seng, dengan ukuran kira-kira 20 x 30 sentimeter. Bergoyang-goyang terkena hembusan angin. Kadang-kadang berbunyi lesu jika angin besar menghempasnya. 


Tempat duduk berderet di sepanjang stasiun. Di atas deretan tempat duduk itu, kokoh terbentang atap seng sebagai pelindungnya. Semua penyangga dan tiangnya terbuat dari besi. Tetapi, kurasakan stasiun ini agak berbeda. Tidak seperti waktu pertama kali aku menginjakkan kaki di stasiun ini tiga tahun lalu. Cat temboknya tampak sudah muram. Lantainya menggambarkan kejorokan, dan jalanan di sepanjang stasiun becek tergenang air dan lumpur. Sampah yang berserak seperti telah menjadi bagian penting dari kejorokan.



Sejurus pandanganku tertanam pada rel kereta api. Serta merta kereta kembali terdengar. Tampak, lampunya berkedip-kedip dari kejauhan. Selang beberapa menit kelihatanlah kepala kereta dengan gerbong panjangnya. Astaga ada apa ini! Aku terkejut dan bermaksud hendak lari menjauh. Kulihat si ular besi ini wujudnya menjadi lebih besar dan semakin besar. Ukurannya kira-kira sepuluh kali lipat dari kereta biasa. Derunya yang bergemuruh dan wujudnya yang besar lagi mengerikan, seakan hendak memakan segala yang ada di depannya. Tanpa bisa ditahan lagi, entah bagaimana tiba-tiba stasiun ditabraknya. Suara dahsyat yang luar biasa kerasnya, memecahkan telingaku. Kereta tergelincir dan ambruk menyeruduk stasiun. Suara berderak- derak dan kacau terdengar ditimpali beberapa kali ledakan. Stasiun hancur seketika, sementara kereta terus menggerus semua benda yang menghalanginya. Api menyala di sepanjang stasiun. Jeritan dan teriakan memekik menjadi sungguh-sungguh menciptakan kengerian yang tak terperikan.

Dalam situasi seperti itu, aku terpana di antara bengong, ketidakpercayaan, dan ketakutan pada penglihatanku sendiri. Tangan dan kakiku gemetar. Nafas seakan terputus seketika itu. Kulihat di sekelilingku, orang berlarian lintang pukang. Apakah ini kiamat? “Tolong! Tolong!” Suara orang menjerit-jerit terdengar jelas di tengah hiruk-pikuk dan teriakan histeris. Masih ada orang hidup, pikirku cepat. Dengan jantung yang berdegup kencang, aku nekat mendekati suara itu. Tampak di depanku seorang wanita tua terjepit di antara reruntuhan. Besi-besi yang menghimpitnya membuat dia tak berdaya. Wajahnya kacau, sementara matanya tampak sedang meradang maut.

Aku segera menghampirinya. Entah dapat kekuatan dari mana tiba-tiba saja badanku yang tadi lemas, kini segar kembali. Dan luar biasa! Tenaganya seperti datang berlipat-lipat ganda. Dengan enteng kubengkokkan besi yang menghimpit wanita itu. Aku tak menyangka mempunyai kekuatan seperti ini. Di luar dugaan aku berhasil menarik keluar wanita tua itu dari reruntuhan. Setelah berhasil kuselamatkan, tampak tubuhnya bergetar. Mulutnya menganga. Nafasnya berat terengah-engah. Sedang sekaratkah, pikirku. Dan tak lama kemudian dia diam. Kugoyang-goyangkan kepalanya. Tetapi ia tetap diam. Badannya terasa makin dingin. Inilah kematian yang mengenaskan!

Tak seberapa jauh dari situ kulihat kepala yang lepas dari badannya. Darahnya mengalir. Rasanya aku ingin berlari seketika itu juga. Mengerikan sekali! Aku terus mencari korban yang mungkin masih hidup. Di antara langkahku yang tergesa-gesa, kulihat korban-korban bergelimpangan di manamana. Tiba-tiba saja ada yang menabrakku dari belakang. Aku jatuh dan tersungkur. Aku kaget. Kemudian, aku bangun. Kulihat sesosok tubuh terkapar. Sembari menangis perempuan tua itu mencoba bangkit. Kuangkat tubuhnya. Terlihat olehku mata orang ini berlumuran darah.

Suasana stasiun kini menjadi lebih kacau. Orang-orang berdatangan. Seperti halnya aku, mereka juga mencari korban yang ada di antara reruntuhan stasiun dan besi-besi kereta. Tak jarang terdengar suara jeritan dan ketakutan. Di antara mereka ada yang mengais-ngais potonganpotongan tubuh korban atau menyeret korban yang tewas.

Hujan masih saja turun. Suasana duka terasa menyelimuti stasiun ini. Dari kejauhan kudengar suara raungan mobil ambulans dan pemadam kebakaran. Para korban dilempar begitu saja ke dalam mobil ambulans. Mereka yang masih hidup dilarikan segera. Sementara yang meninggal dijejerkan di tempat yang agak terbuka. Suara tangis, rintihan dan hiruk-pikuk yang tak jelas, terdengar di sana-sini dan terus memekakkan telinga.

Sekali-kali kulihat kaki, tangan, dan bahkan kepala bergelimpangan. Darahnya tampak masih segar. Tak terbayangkan betapa shocknya aku pada saat itu. Mengapa hal seperti ini harus kusaksikan? Rasanya aku tak mempercayainya segala yang kulihat saat ini.

Hujan sudah mulai reda. Di beberapa bagian peron stasiun tampak orang masih berkerumun, ada juga yang terus mencari korban. Setelah berapa lama, terdengar lagi suara kereta dari kejauhan. Kami pun tersentak kaget. Tidak menyangka, dalam situasi yang porak poranda seperti ini, masih juga ada kereta yang akan melintas stasiun ini. Seharusnya jalur kereta ditutup untuk sementara, pikirku. Kami berlari tak tentu arah. Suasana menjadi semakin kacau. Aku tidak lagi mempedulikan para korban. Orang-orang yang tadi ikut membantu para korban, segera berlari menyelamatkan diri.

Dari kejauhan kulihat kereta melaju dengan kencang dari arah berlawanan dengan kereta yang tadi menabrak. Anehnya kereta ini berjalan tidak melewati stasiun, melainkan melintas menuju ke arah reruntuhan kereta yang tadi. Secara refleks, aku melompat dan berlari tidak tentu arah. Suara teriakan dan jeritan tak terelakkan lagi. Kutengok ke belakang. Kulihat kereta sudah semakin dekat. Aku tersungkur, tak kuasa lagi berlari. Tetapi, masih sempat aku menjerit sekencangnya sebelum sesuatu terjadi atas diriku. 


“Bang! Ada apa?” Sekonyong-konyong seseorang menegurku. Aku tersadar dan gelagapan. “Oh, tidak ... ! Tidak apa-apa!” jawabku sekenanya.

Orang itu pergi sambil menggeleng-gelengkan kepala. Aku masih bingung. Kulihat stasiun yang tadi hancur ternyata masih utuh. Kuperiksa anggota badanku, tidak apa-apa, juga tidak mengalami luka apa pun. Lalu, bagaimana dengan peristiwa tadi?

Setengah sadar, aku beranjak bangun. Setengah berlari kutinggalkan stasiun tanpa kuasa lagi menepis sisa mimpi yang masih terasa mengejarku.

Print Friendly and PDF

0 comments:

Posting Komentar