Di
kampung Potorono ada seorang anak yang suka bermain layang layang. Anak itu
bernama Tono, Budi dan Yanto. Di hari minggu pagi yang cerah Budi, Tono dan
Yanto pergi ke sawah. Mereka berangkat ke sawah membawa sabit, keranjang dan
Layang-layang. Budi, Tono dan Yanto membawa layang- layang yang berbeda
bentuknya. Kepunyaan Budi bentuknya seperti capung terus punyanya Tono seperti
ketupat yang ada ekornya sedangkan milik Yanto Bentuknya seperti pesawat
terbang. Di saat perjalanan mereka ber lari-lari sambil menerbangkan rendah
layang-layangnya. Ketika Yanto berlari tiba-tiba menginjak ular. Waaaaa
Ular...... Lari, lari ayo. Mereka berlarian sampai terengah-engah. Yanto sangat terkejut karena ularnya besar
sekali. Lalu Budi memanggil Yanto. “Gimana yanto kakinya digigit gak? Gak Budi
hanya kaget saja” jawab Yanto. Mereka melanjutkan perjalanan ke sawah dengan
penuh keceriaan. Setelah sampai di sawah Tono, Budi dan Yanto istirahat sambil
minum air putih. Di tempat yang teduh mereka berbicara tentang hembusan arah
angin. “Hay, Tono ini kan masih lumayan pagi, angin kan belum besar terus masih
belum tenang anginnya kadang ada kadang tidak, gimana ni...?” Tanya Budi. “Iya
ni, gimana main layang-layangnya” Kata yanto. “ Oh, ya kita cari rumput dulu
gimana?, kita kan bawa sabit dan keranjang, sambil nunggu anginnya datang”
jawab Tono. “Wah benar juga tu...!! Ha ha...!”. Dengan enaknya Budi dan yanto
menyaut bersamaan. Lalu mereka bergegas bersama-sama, mencari rumput di sawah. Dengan
semangat mereka asyik mencari rumput untuk diberikan ke hewan peliharaanya.
Budi mencari rumput untuk sapi, Yanto mencari untuk kambingnya dan Tono
mencarikan ruput untuk kelincinya.
Hari semakin siang dan matahari mulai condong ke barat, angin mulai berhembus kencang. Tiba-tiba Tono dan Yanto berlarian masuk ke semak karena melihat pohon rambutan kopyor. Mereka memanjati pohon rambutan itu dengan sangat asiknya.”Eh Tono kita panjat yuk, ni kan siang-siang enak makan buah rambutan”. Buahnya merah-merah banget ni...”. Kata Yanto. “Ha.. Ha.. ha.. pasti mantab sueegerr....!! banget, kebetulan kan kita lagi laper” Jawab Tono. Saat itu Budi tidak tahu dimana Tono dan Yanto pergi. Lalu Budi mencarinya di pinggir tepi sawah deket sungai. Ternyata Budi melihat Tono dan Yanto naik pohon rambutan milik orang. Lalu Budi mendekati pohon rambutan yang mereka panjat. “Woy... Woey.... Siang-siang jangan maling, itu kan dosa ayo turun, itu gak baik”. Budi sambil melihat ke atas, berteriak menegur Tono dan Yanto. Tono dan Yanto tidak memperdulikan teguran Budi. Lalu beberapa saat kemudian tiba-tiba datang seseorang yang bertopikan anyaman bambu yang disebut topi capil.
Ternyata dia adalah pemilik pohon rambutan itu. Yanto dan Tono melihat orang tua itu dari atas pohon rambutan, lalu mereka ketakutan kalu dimarai. “Ton gimana ni wah gawat, takut banget ni”. “Aku juga takut, kamu sih tadi ditegur Budi gak mau turun”. Tono dan Yanto malah berbincang-bincang di atas pohon rambutan itu karena takutnya akan kena marah. Sambil berjalan lebih mendekat ke pohon Budi berteriak lagi. “Ayo Turun Semuanya” Tono dan Yanto mulai turun sampai terpelorot, dadanya tergores pohon rambutan sampai keluar darah sedikit. Budi menemui Orang tua pemilik rambutan itu. “Maaf Bapak, maafkan kelakuan temen saya karena sudah mencuri buah rambutan bapak”. “Iya nak tidak apa-apa, tapi lain kali gak boleh seperti itu. Perbuatan mencuri kan dosa, larangan Tuhan. Lebih baik jika kita ingin memiliki sesuatu bukan milik sendiri kita harus ijin dulu kepada pemiliknya, begitu adek-adek”. Jawab orang tua yang memakai capil. Lalu Orang tua itu malah memanjat pohon rambutannya dan memetikkan buah rambutan untuk diberikan kepada ketiga anak itu. “Wah makasih banget Pak! “Ini rejeki kita”. Lalu mereka mengucapkan terima kasih kepada orang tua yang bercapil itu. Kemudian mereka beristirahat dan makan buah rambutan itu bersama-sama dengan orang tua pemilik buah rambutan tersebut.
Ternyata dia adalah pemilik pohon rambutan itu. Yanto dan Tono melihat orang tua itu dari atas pohon rambutan, lalu mereka ketakutan kalu dimarai. “Ton gimana ni wah gawat, takut banget ni”. “Aku juga takut, kamu sih tadi ditegur Budi gak mau turun”. Tono dan Yanto malah berbincang-bincang di atas pohon rambutan itu karena takutnya akan kena marah. Sambil berjalan lebih mendekat ke pohon Budi berteriak lagi. “Ayo Turun Semuanya” Tono dan Yanto mulai turun sampai terpelorot, dadanya tergores pohon rambutan sampai keluar darah sedikit. Budi menemui Orang tua pemilik rambutan itu. “Maaf Bapak, maafkan kelakuan temen saya karena sudah mencuri buah rambutan bapak”. “Iya nak tidak apa-apa, tapi lain kali gak boleh seperti itu. Perbuatan mencuri kan dosa, larangan Tuhan. Lebih baik jika kita ingin memiliki sesuatu bukan milik sendiri kita harus ijin dulu kepada pemiliknya, begitu adek-adek”. Jawab orang tua yang memakai capil. Lalu Orang tua itu malah memanjat pohon rambutannya dan memetikkan buah rambutan untuk diberikan kepada ketiga anak itu. “Wah makasih banget Pak! “Ini rejeki kita”. Lalu mereka mengucapkan terima kasih kepada orang tua yang bercapil itu. Kemudian mereka beristirahat dan makan buah rambutan itu bersama-sama dengan orang tua pemilik buah rambutan tersebut.
Matahari semakin condong ke bawah lagi dan angin mulai bertiup terasa kencang dan tenang ke arah timur Utara. Budi, Yanto dan Tono pamit dengan pemilik rambutan itu karena ingin bermain layang layang. “Ayo kita berangkat.... asyik”. Mereka mulai menerbangkan layang-layangnya. Dengan hembusan angain yang kuat dengan mudah layang-layang ketiga anak itu melayang di udara. Mereka menjulurkan benangnya sampai habis sehingga layang-layang itu berada di udara terlihat tenang, jauh dan tinggi sehingga tidak terombang ambing seperti waktu saat akan diterbangkan. Tariakan layang-layang di udara berbeda-beda karena sesuai dengan ukuran dan bentuk layang-layang. Dengan riangnya mereka menalikan benangnya di pohon pisang. Jarak mereka berjauhan karena supaya benang bergerak bebas tidak bersangkutan. Mereka duduk berdekatan sambil memandangi layang-layang yang tinggi itu. Sambil bercanda Budi bertanya. “Oh ya tadi masih gak ya buah rambutanya?” Itu di sana masih ada”. Jawab Yanto. Sambil makan rambutan mereka bersiul-siul karena sangat cerianya.
Ketika itu Tono melihat layang-layang yanto yang seperti pesawat terbag itu tiba-tiba menarik benangnya terasa kuat sehingga pohon pisang yang kecil itu seperti mau tercabut. Lalu Yanto berlari memegang benang Yanto sendiri. “ Wah gimana ni, kalau putus benangnya” sambil berteriak teriak. Budi dan Tono mendekat lalu menyarankan untuk menurunkan layang-layangnya dengan pelan-pelan. Yanto takut banget kehilangan layang-layangnya. Karena takut kehilangan layang-layang itu, yanto jadi pucat seperti orang sakit. “Ha... ha... kenapa kamu pucat Yanto?” tanya Budi. “Itu kan layang-layang kesayanganku”. Jawab Yanto.” Udah santai ja warung layang-layang kan masih ada” he he.. Ujar Tono. Kemudian mereka melanjutkan penurunan layang layang punyaanya Yanto. Akan tetapi layang-layang itu terasa berat saat diturunkan karena cuaca di udara seperti mendung. Akhirnya.... Dettt.... terasa putus benangnya. Lalu yanto menangis. Layang-layang itu meluncur jauh dan tidak dapat diambil lagi. Yanto sedih meratap. Hari semakin sore dan cuaca tidak menentu. Budi dan Tono menurunkan layang-layangnya dengan pelan-pelan. Akhirnya mereka selesai, Budi dan Tono merasa kasihan kepada Yanto karena layang-layangnya putus dibawa angin yang kencang. Mereka bergegas pulang dengan membawa rumput yang di carinya.
Oleh: Witdarmiyanto
0 comments:
Posting Komentar