Mayat Yang Mengambang Di Danau
Barnabas mulai menyelam tepat ketika langit bersemu
keungu-unguan, saat angin dingin menyapu permukaan danau sehingga air berdesis
pelan, sangat amat pelan, nyaris seperti berbisik, menyampaikan segenap rahasia
yang bagai tidak akan pernah terungkapkan.
Memang hanya langit, hanya langit itulah yang
ditunggu-tunggu Barnabas, karena apabila kemudian ia menyelam di dekat
batang-batang pohon ke bawah permukaan danau untuk menombak ikan, secercah
cahaya pun cukuplah untuk melihat segala sesuatu yang bergerak, hanya bergerak,
tiada lain selain bergerak, ketika hanya dengan sudut matanya pun ia tahu mana
bukan ikan gabus mana bukan ikan merah. Ya, tangannya hanya akan bergerak
menombak secepat kilat bagaikan tak menunggu perintah otak, apabila kedua jenis
ikan itu lewat meski melesat, berombongan maupun terpisah dan tersesat, yang
mana pun takkan lepas dari sambaran tombaknya yang sebat.
Kacamata yang digunakannya untuk menyelam memang sudah
terlalu tua dan agak kabur jika digunakan untuk melihat dalam keremangan, yang
kali ini tampaknya masih akan bertahan cukup lama, karena langit mendung dan
mega hitam bergumpal-gumpal. Dari dalam air, tanpa harus melirik ke permukaan,
tahulah Barnabas hujan rintik telah menitik di seluruh permukaan danau. Namun
apalah artinya hujan rintik-rintik bagi seseorang yang menyelam dan memburu
ikan, bukan? Barnabas terus berenang di dalam air nyaris seperti ikan, memburu
ikan tanpa ikan-ikan itu harus tahu betapa jiwanya sedang terancam. Tentu ia
mengenal ikan seperti mengenal dirinya sendiri.
Ikan-ikan tak berotak pikirnya,
pantaslah begitu mudah ditombak.
Namun Barnabas juga tahu justru karena otak ikan sangat amat
kecil sehingga tidak mencukupi untuk berpikir, naluri ikan terhadap bahaya
bekerja dengan kepekaan tinggi. Jadi Barnabas pun tetap harus menipunya.
Makanya ia pun berenang seperti ikan, mengapung seperti kayu, menyelam seperti
pemberat dan sekali tangannya bergerak, memang harus melesatkan tombaknya lebih
cepat dari bekerjanya naluri ikan. Ia telah memperhatikan, betapa ikan dalam
rombongan akan lebih kurang berhati-hati daripada ikan yang berenang sendirian,
mungkin karena merasa aman bersama banyak ikan, sehingga memang tak sadar
bahaya mengancam.
Ikan
yang terlepas dari rombongan dan kebingungan kadang lebih menarik perhatian
Barnabas. Ia suka mengintai dan mengincarnya dengan hati-hati, kadang tanpa
kentara memojokkannya, untuk pada saat yang tepat menombaknya tanpa ikan itu
sempat mengelak.
Ikan merah artinya ikan gabus merah sedap jika dibakar. Ikan
gabus artinya ikan khahabei besarnya bisa sebesar betis persembahan bagi
ibu-ibu yang baru melahirkan, tak kalah sedap digoreng, tetapi Barnabas
beranggapan minyak goreng bukanlah bagian dari kehidupannya karena memang tak
pernah membelinya. Bahkan Barnabas tak pernah lagi makan ikan yang diburunya
itu. Jika langit yang keungu-unguan itu telah menjadi lebih terang, setidaknya
dua puluh sampai tiga puluh ikan yang bernasib malang di tangannya sudah
tergantung di salah satu tiang dermaga. Jumlah yang cukup guna menyambung hidup
untuk sehari, dua hari, tiga hari, seminggu, tak penting benar berapa lama,
karena Barnabas setiap harinya menyelam jua kecuali pada hari Minggu karena
pada hari itu Barnabas beribadah.
Pada hari apa pun ikan-ikan tidak beribadah pikirnya lagi jadi
ke manakah mereka pergi hari ini?
Bukanlah
karena hujan maka ikan-ikan tidak terlihat, mungkin juga tiada sebab apapun
selain sedang berombongan mencari makan di tempat lain dengan moncongnya yang
tak habis bergerak memamah-mamah. Namun tetap saja Barnabas merasa jengkel
karena ini membuatnya terpaksa memburu ikan lebih lama. Ia memang tak suka
memasang bubu dan tak juga suka memasang jala seperti banyak orang lainnya di
pulau-pulau di dalam danau, karena memasang bubu bukanlah berburu dan memasang
jala juga bukanlah berburu, sedangkan ia hanya ingin jadi pemburu ikan dan
tiada lain selain berburu ikan seperti yang selama ini dianggapnya sebagai
panggilan.
Ada orang ingin jadi pendeta, pikirnya pula, aku ingin jadi
pemburu ikan.
Dari
masa kecil diketahuinya orang-orang menyelam tanpa kacamata dan bahkan bisa
mendapatkan ikan lebih banyak darinya sekarang. Mungkinkah air danau dahulu
tidak seperti air danau sekarang? Lebih jernih karena memang lebih bersih dan
mata penyelam tak harus menjadi pedas meskipun menyelam berlama-lama?
Barnabas tentu ingat betapa pada masa lalu di danau itu
segala sesuatunya tidaklah sama dengan sekarang.
Dulu tidak ada raungan Johnson pikir Barnabas, karena perahu
bolotu tidak bermesin tempel. Dari pulau ke pulau atau dari pulau ke daratan,
orang-orang menggunakan bolotu yang hanya perlu didayung. Kadang penumpang
bantu mendayung, tetapi tanpa bantuan penumpang pun perjalanan dari pulau kecil
yang satu ke pulau kecil lain di dalam danau yang dikelilingi perbukitan itu
tetap bisa berlangsung, tanpa peduli apakah itu cepat ataukah lambat karena
memang tiada waktu yang terlalu tepat maupun terlambat. Langit dan bumi bersenyawa
tanpa peduli detak arloji dan Barnabas lebih suka menjadi bagian langit maupun
bagian bumi daripada arloji.
Maka tiada yang dikhawatirkan Barnabas jika pagi ini
ikan-ikan seperti bersembunyi. Langit memang gelapnya agak lebih lama karena
mendung dan hujan dan tentu saja ini harus dianggap biasa saja, begitu biasa,
bagaikan tiada lagi yang lebih biasa, dan sungguh Barnabas sama sekali tiada
keberatan karenanya.
Aku sabar menunggumu ikan batinnya, setiap orang harus cukup
bersabar menantikan makhluk yang akan menyerahkan jiwa hari ini demi kelanjutan
hidup pembunuhnya. Apalah artinya menahan lapar sejenak untuk hidup lebih lama?
Nikmatilah hidupmu yang amat sementara itu ikan, karena pada akhirnya aku akan
membawamu ke pasar dan pedagang ikan akan segera memajang dirimu di meja kayu
murahan tempat koki restoran di tepi danau itu akan menunjukmu, membelimu,
membuang sisik dan isi perutmu, lantas menggorengmu bagi santapan para
wisatawan yang akan membuang tulang-tulang dan kepalamu untuk menjadi rebutan
ikan-ikan emas di kolam yang tak tahu menahu betapa cepat atau lambat mereka
juga segera akan jadi santapan dan tulang-tulang serta kepalanya juga akan
dilempar sebagai pertunjukan kebuasan dunia yang tampaknya justru meningkatkan
selera makan.
Barnabas tiba-tiba teringat Klemen anaknya yang putus
sekolah teologia, pernah mengucapkan suatu kata yang tak dimengertinya.
”Homo homini lupus….”
Saat itu Barnabas memang bertanya, apa maknanya Klemen tidak
melanjutkan sekolah untuk menjadi pendeta, menyia-nyiakan tabungan hasil
berpuluh-puluh tahun berburu ikan. Di negeri danau tempat setiap bukit
berpuncak salib, menjadi pendeta adalah kehidupan terpuji.
Namun inilah jawaban Klemen anak tunggalnya itu, yang pada
suatu hari tiba-tiba saja muncul kembali dari balik kabut di atas danau sambil
mendayung bolotu meninggalkan sekolah di kota untuk selama-lamanya.
”Apalah artinya memuja langit, tapi membiarkan darah
mengotori bumi….”
Selama tinggal di rumah mereka tempat kecipak air danau
selalu terdengar dari bawah lantai papan dari malam ke malam, Klemen tampak
sering tepekur. Ibunya sudah lama meninggal karena cacing pita dan mereka hanya
hidup berdua saja, sampai Klemen pergi ke kota atas restu pendeta untuk belajar
menjadi pendeta.
”Kampus tempat belajar agama pun diobrak-abrik tentara,”
katanya, ”benarkah sudah cukup kita hanya berdoa?”
Barnabas bukan tak mendengar orang-orang berbicara dengan nada
rendah tentang penembakan dan kerusuhan di berbagai tempat lainnya. Klemen
pernah membacakan pesan pada benda kecil yang sering digunakannya pula untuk
bicara.
Aku
masih di hongyeb, beberapa hongibi, dan syidos tahu persis siapa pelaku penembakan
di gidinya bekas nyahongyeb Dadbdedsya katanya punya data nama-nama pelaku
penembakan. Mereka adalah (self-censorship oleh pengarang) yang menyamar
sebagai pasukan sagangrod Tjhitgosoe ede dede nyalabi, seragamnya sama dengan
sagangrod ini, senjatanya yang beda. Ini informasi A1, tapi kudu hati-hati,
kami media tinggal tunggu siapa otoritas yang berani sebut siapa mereka. Jangan
percaya omongan para petinggi munafik.
Barnabas sungguh tak mengerti apa yang harus dikatakannya.
Negerinya hanyalah sebatas danau dengan tiga puluhan pulau yang dikelilingi
tebing serba terjal dan meliuk berteluk-teluk itu. Ia tidak pernah tahu dan
tidak butuh apapun yang lain selain cakrawala negeri danaunya itu yang telah
memberikan kepadanya mega-mega terindah di langit biru, bukit-bukit menghijau,
dan kedalaman di balik permukaan danau tempatnya memburu ikan-ikan yang baginya
merupakan segala dunia yang lebih dari cukup. Ditambah khotbah para pendeta
yang menyejukkan setiap akhir pekan dan pesta rakyat dari segenap pulau setiap
tahun, itu semua sudah lebih dari apapun yang bisa dimintanya.
Namun Barnabas merasakan perubahan yang terjadi belakangan
ini bahwa pendeta yang tidak bicara tentang kemerdekaan gerejanya akan sepi.
Hujan tampak menderas dan ketika Barnabas mengambil napas di
permukaan danau memang sepanjang mata memandang hanyalah dunia yang kelabu
karena tirai hujan dengan latar belakang bayangan punggung perbukitan di
kejauhan.
Perutnya terasa agak lapar tetapi tenaganya sama sekali
belum berkurang. Ia bisa membawa ikatan dua puluh sampai tiga puluh ekor ikan
ke pasar, tetapi jika hanya membawa sepuluh atau lima belas pun tidak ada yang
harus disesalinya sama sekali. Bahkan
jika ikan yang ditombaknya cukup besar dan ikan-ikan terbesar suka menyendiri maka
seekor atau dua ekor pun justru akan dibayar lebih tinggi daripada sepuluh ikan
yang biasa.
Ya, ikan-ikan tak tahu kapan akan mati batin Barnabas,
tetapi pagi ini tampaknya belum ada yang akan mati. Setidaknya di dekat
permukaan ini.
Maka Barnabas menyelam, menyelam, dan menyelam semakin dalam
ke tempat ikan besar biasanya menyendiri.
Namun gagasan tentang ikan besar yang menyendiri ini yang
memisahkan dirinya secara alamiah karena tak dapat lagi berombongan ke sana
kemari dengan ikan-ikan kecil meskipun dari jenisnya sendiri mengingatkan
Barnabas kepada dirinya. Sedikit pemburu di antara penjala dan pemasang bubu,
dan di antara pemburu yang biasanya bekerja siang atau malam, hanyalah Barnabas
yang selalu bekerja tepat menjelang fajar merekah jelas membuatnya berbeda,
keberbedaan yang mungkin menurun kepada Klemen. Memang banyak hal tak
dimengertinya pula dari gagasan-gagasan Klemen, apalagi ketika ia bicara tentang
pernyataan untuk merdeka.
Manusia
kadang masih seperti ikan pikirnya, tak dapat bercampur baur dan hanya nyaman dengan
golongan sejenisnya.
Di danau itu telah dimasukkan ikan dari tempat asing seperti
ikan gabus Toraja, yang ternyata lebih suka memakan telur ikan gabus asli dari
danau itu maupun ikan-ikan lainnya. Ikan gabus asli yang disebut khahabei itu
harus dicari para penyelam di bagian danau terdalam. Sedangkan ikan lohan yang
juga asing di danau itu tak hanya memakan telur-telur ikan gabus, anak-anak
ikan gabus, dan ikan-ikan kecil lain tetapi juga udang dan jengkerik. Maka
ikan-ikan asli lain seperti ikan seli, ikan gete-gete besar dan kecil, ikan
gastor, ikan gabus merah, ikan gabus hitam yang dahulu berlimpah kini hanya
tertangkap dalam jumlah sedang, yang masih banyak tinggal ikan-ikan hewu atau
ikan pelangi tetapi ikan kehilo semakin susah dicari mungkin karena makin jauh
bersembunyi mungkin juga memang tinggal sedikit sekali. Tempat mereka telah
diisi ikan-ikan asing yang disebut ikan mata merah, ikan tambakan, ikan sepat
siam, ikan nila, ikan nilem, dan ikan mas. Barnabas tahu benar, dahulu
setidaknya terdapat dua puluh sembilan jenis ikan termasuk ikan laut yang masuk
dari muara sungai di sebelah timur dan sekarang hanya enam belas jenis itu pun
tinggal sembilan jenis yang asli.
Ikan makan ikan, apakah manusia tidak memakan manusia?
Barnabas tidak terlalu peduli apakah ia pernah menjawab pertanyaannya
sendiri.Sudah beberapa hari Klemen menghilang. Tetangganya menyampaikan kadang
ada orang datang bertanya-tanya tentang Klemen bukan, mereka bukan sesama
penduduk di negeri danau yang saling mengenal sejak dilahirkan. Perahu bolotu
yang digunakan Klemen juga masih di tempatnya, ketika beberapa malam lalu
mendadak terdengar deru perahu Johnson di kejauhan pada tengah malam. Penduduk
yang masih terjaga saling berpandangan. Mereka yang terbiasa menyendiri memang
harus menghadapi segala sesuatunya sendirian.
Barnabas menyelam makin dalam bahkan sampai menyentuh lumpur
di dasar danau. Seekor ikan khahabei besar yang waspada berkelebat, mengepulkan
lumpur yang segera saja menutupi pandangan. Barnabas tidak dapat melihat apapun.
Cahaya yang sejak pagi tidak pernah lebih terang dari kekelabuan dalam hujan di
dasar danau ini tak dapat juga memperlihatkan sesuatu kepada Barnabas.
Namun di antara kepulan lumpur pekat Barnabas merasakan
sesuatu datang dari dasar danau dan ia segera menghindarinya. Tak urung,
sesuatu yang mengambang karena gerakan ikan khahabei itu telah melepaskan
keterikatannya dari akar-akaran di dasar danau menyentuh tubuhnya juga dalam
perjalanan ke permukaan danau.
Ia terkesiap dan melepaskan dirinya dari kepulan lumpur,
melesat dan menyusul sesuatu yang segera jelas merupakan sesosok mayat. Dari
balik kacamata selamnya yang buram, matanya terpaku kepada sosok itu yang
perlahan tetapi pasti menuju ke atas sampai mengapung di permukaan danau.
Dengan cahaya yang sedikit lebih baik daripada di dasar danau meskipun tidak
terlalu jelas Barnabas dapat memastikan bahwa tangan dan kaki mayat itu terikat
dan pengikatnya adalah robekan bendera bergaris biru putih sedangkan mulutnya
disumpal dengan kain merah.
Di permukaan itu hujan bukan semakin mereda tetapi menderas.
Angin keras menyapu seluruh permukaan danau sehingga air hujan yang turun dari
langit tersibak bagaikan tirai raksasa yang melambai-lambai. Di antara deru
angin yang menarik-narik daun pohon nyiur di semua pulau terdengarlah jeritan
panjang dari tengah danau.
“Klemeeeeenn!”
Sumber: Majalah Sinus 2005, Oleh: Seno
0 comments:
Posting Komentar