Ads 468x60px

Jumat, 04 Januari 2013

Jembatan Pertemuan Shifa


Jembatan Pertemuan Shifa

Jantungku semakain hari kian cepat berdetak. Darahku semakin perih melalui lika nadiku. Dan nafasku pun tak sesegar yang dulu. Karena aku bukan lagi sebagai Shifa. Meski namaku Shifa, tapi aku tak mampu menjadi Shifa untuk ragaku sendiri.

Pagi ini angin segar menyapa  desiran nadiku. Seolah ia ingin menyejukkan sakitku. Tapi tetap saja. Embun ini tak kan bisa memberikan kesejukan yang abadi. Berawal dari diagnosis dokter tentang segala keluhanku. Meski sulit,  aku mencoba menerima sakitku ini. Mensyukuri segala pemberian-Nya. Ku terima ini sebagai jembatan pertemuan kepada ayah, bunda.

Malam ini genap diusiaku yang ke-16. Kado terhebat yang pertama kali kuterima, diagnosis dokter Andrew. Dokter muda asal Singapuer ini, catatannya aku terkena.....
“Suster, tolong ambil sempel daranya,” Ku dengar samar-samar suara si dokter. Suster lalu menancapkan jarum ke lenganku. Diambilnya beberapa  mili terombosit. Sama-samr kubuka mata ini. Diantara warna putih ruang ini, ada dokter Andrew sedang menganalisa darahku.

Kepalaku pening. Jantungku berdebar begitu cepat. Napasku terasa sesak. Merasa ada bau yang tidak asing keluar dari rongga hidung. “Ya tuhan darahnya keluar lagi,” Dokter itu heran. Dri tadi darahku keluar terlalu banyak. Dia lalu membersihkan darahku yang terus keluar ini. Memcoba membuka mata ini, menggerakkan bibir yang begitu alot.

“Aku dimana?” kataku sulit. “Sudah. Jangan dipaksakan bicara. Kamu istirahat dulu.” suara dokter  Andrew lambat  terdengar. “Aku dimana? Aku dimana?” “Tenanglah sekarang kamu ada di Rumah Sakit. Kamu pingsan di pesta ulangtahunmu tadi. Temanmu yang membawa kamu ke sini. Dari tadi kamu mimisan kamu tak juga berhenti.” Mimisan? Aku pingsan?”

Ku lihat suasana di sekelilingku, beberapa kapas putih telah berubah warna. Yang putih menjadi merah. Jantungku terus berdebar semakin cepat. Nadiku terasa perih. Darahnya terlalu deras mengalir. Kepalaku kembali pening. Dan. . .,, “Sekarang kumu tenanglah, jangan terlalu banyak berfikir. Darah kamu semakin banyak keluar,” ucap dokter muda. Aku mendengar ada nada cemas disuaranya.“Dokter, hasil sempel darahnya sudah ada,” bisik perawat.

Ku gerakkan lidahkuuntuk berkata, tap mataku tak sanggup untuk terbuka. Perih hatiku memgajak mata ini terus tertidur menahan sakit. “dokter saya kenapa ?” tanyaku sulit. “Kamu....kamu.... menurut diagnosis otak kamu mengalami pendarahan.”  Ku gerakkan tanganku memegang dadaku. Menahan sakit yang terus merajut. Kepalaku yang semakin pening. Dan tubuhku yang semakin tak berdaya.

Alat medis disamping berdenting semakin cepat. Suaranya begitu nyaring. Membuat hatiku tersenyum. Kurangkai kata, meski sulit. “Namaku Shifa.” “Sudah jang terlalu banyak berbicara. Lihatlah. Darahmu semakain banyak keluar,” dokter Andrew memcoba menenangkan. Kutarik bibir manis ini. Menarik nafas dalam-dalam. Kusampaikan kata-kata untuk dokter.

“Brhentilah, dok. Izinkan aku merepotkan dokter. Hanya dokter yang kupercaya. Ditengoknya mesin medis disampingku. Garisnya menunjukkan akhir kehidupan. Kali ini aku mampu membuka mata . aku tak merasakan sakit lagi. Tersenyum melihat dokter yang cemas. Dia meneteskan air mata yang tak mampu ia bendung. Beberapa suster sibuk mengurusi mesin medis ini.

“Dokter jika Aku berpulang. Kuburkanlah aku didekatnya Ayah dan Bundaku. Karena aku tek mampu bila aku harus sendiri lagi. Aku ingin terus ada disamping mereka. Sudah bertahun-tahun kerinduan ini terpendam. Tapi aku senang karena akhirnya jembatan pertemuankau kini datang juga. Aku akan bertemu Ayah dan Bundaku yang dua setengah tehun sudah pergi,” mataku kembali terpejam. Napasku tak lagi berhembus. Kini aku bersiap menyusul Ayah dan Bundaku. Sebagai tanda terimakasihku pada dokter-dokter ini kukirimkan senyuman manis terakhirku.


Sumber: Wahyu Setyaningsih. Koran Kedaulatan Rakyat . Yogyakarta 2009.
Oleh: Witdarmiyanto
Print Friendly and PDF

0 comments:

Posting Komentar