Jantungku
semakain hari kian cepat berdetak. Darahku semakin perih melalui lika nadiku. Dan
nafasku pun tak sesegar yang dulu. Karena aku bukan lagi sebagai Shifa. Meski namaku
Shifa, tapi aku tak mampu menjadi Shifa untuk ragaku sendiri.
Pagi ini
angin segar menyapa desiran nadiku. Seolah
ia ingin menyejukkan sakitku. Tapi tetap saja. Embun ini tak kan bisa
memberikan kesejukan yang abadi. Berawal dari diagnosis dokter tentang segala
keluhanku. Meski sulit, aku mencoba menerima
sakitku ini. Mensyukuri segala pemberian-Nya. Ku terima ini sebagai jembatan
pertemuan kepada ayah, bunda.
Malam
ini genap diusiaku yang ke-16. Kado terhebat yang pertama kali kuterima,
diagnosis dokter Andrew. Dokter muda asal Singapuer ini, catatannya aku terkena.....
“Suster,
tolong ambil sempel daranya,” Ku dengar samar-samar suara si dokter. Suster lalu
menancapkan jarum ke lenganku. Diambilnya beberapa mili terombosit. Sama-samr kubuka mata ini. Diantara
warna putih ruang ini, ada dokter Andrew sedang menganalisa darahku.
Kepalaku
pening. Jantungku berdebar begitu cepat. Napasku terasa sesak. Merasa ada bau
yang tidak asing keluar dari rongga hidung. “Ya tuhan darahnya keluar lagi,” Dokter
itu heran. Dri tadi darahku keluar terlalu banyak. Dia lalu membersihkan
darahku yang terus keluar ini. Memcoba membuka mata ini, menggerakkan bibir
yang begitu alot.
“Aku
dimana?” kataku sulit. “Sudah. Jangan dipaksakan bicara. Kamu istirahat dulu.”
suara dokter Andrew lambat terdengar. “Aku dimana? Aku dimana?” “Tenanglah
sekarang kamu ada di Rumah Sakit. Kamu pingsan di pesta ulangtahunmu tadi. Temanmu
yang membawa kamu ke sini. Dari tadi kamu mimisan kamu tak juga berhenti.” Mimisan?
Aku pingsan?”
Ku
lihat suasana di sekelilingku, beberapa kapas putih telah berubah warna. Yang putih
menjadi merah. Jantungku terus berdebar semakin cepat. Nadiku terasa perih. Darahnya
terlalu deras mengalir. Kepalaku kembali pening. Dan. . .,, “Sekarang kumu
tenanglah, jangan terlalu banyak berfikir. Darah kamu semakin banyak keluar,”
ucap dokter muda. Aku mendengar ada nada cemas disuaranya.“Dokter, hasil sempel
darahnya sudah ada,” bisik perawat.
Ku gerakkan
lidahkuuntuk berkata, tap mataku tak sanggup untuk terbuka. Perih hatiku
memgajak mata ini terus tertidur menahan sakit. “dokter saya kenapa ?” tanyaku
sulit. “Kamu....kamu.... menurut diagnosis otak kamu mengalami pendarahan.” Ku gerakkan tanganku memegang dadaku. Menahan sakit
yang terus merajut. Kepalaku yang semakin pening. Dan tubuhku yang semakin tak
berdaya.
Alat
medis disamping berdenting semakin cepat. Suaranya begitu nyaring. Membuat hatiku
tersenyum. Kurangkai kata, meski sulit. “Namaku Shifa.” “Sudah jang terlalu
banyak berbicara. Lihatlah. Darahmu semakain banyak keluar,” dokter Andrew
memcoba menenangkan. Kutarik bibir manis ini. Menarik nafas dalam-dalam. Kusampaikan
kata-kata untuk dokter.
“Brhentilah,
dok. Izinkan aku merepotkan dokter. Hanya dokter yang kupercaya. Ditengoknya mesin
medis disampingku. Garisnya menunjukkan akhir kehidupan. Kali ini aku mampu
membuka mata . aku tak merasakan sakit lagi. Tersenyum melihat dokter yang
cemas. Dia meneteskan air mata yang tak mampu ia bendung. Beberapa suster sibuk
mengurusi mesin medis ini.
“Dokter
jika Aku berpulang. Kuburkanlah aku didekatnya Ayah dan Bundaku. Karena aku tek
mampu bila aku harus sendiri lagi. Aku ingin terus ada disamping mereka. Sudah bertahun-tahun
kerinduan ini terpendam. Tapi aku senang karena akhirnya jembatan pertemuankau kini
datang juga. Aku akan bertemu Ayah dan Bundaku yang dua setengah tehun sudah
pergi,” mataku kembali terpejam. Napasku tak lagi berhembus. Kini aku bersiap
menyusul Ayah dan Bundaku. Sebagai tanda terimakasihku pada dokter-dokter ini
kukirimkan senyuman manis terakhirku.
Sumber: Wahyu Setyaningsih. Koran Kedaulatan Rakyat . Yogyakarta 2009.
Oleh: Witdarmiyanto
0 comments:
Posting Komentar