Kereta Raksasa
Karya Dasmo
Rahardiyanto
Malam dingin menggigil.
Udara terasa membekukan sendisendiku. Angin yang berhembus disertai derasnya
hujan, membuat malam semakin terasa keparat. Gemercik air hujan terdengar
berjatuhan membentuk simfoni alam yang menggelisahkan. Kecuali suara kodok yang
menjengkelkan, tak terdengar binatang malam yang berbunyi. Aku duduk termangu
terjebak hujan di sebuah stasiun. Hujan seperti tumpah. Malas rasanya aku
pulang berhujan-hujan. Kunyalakan sebatang rokok. Kuhisap dalam-dalam sambil kusandarkan
badanku pada salah satu kursi fiber yang berjejer di halaman stasiun itu. Hah,
lelah betul aku hari ini, gerutuku. Sebagai karyawan kecil di sebuah perusahaan
swasta, seharian bekerja selalu membawa dan menyisakan kele-lahan luar biasa. Tidak
jarang pula membawa pulang sakit hati dan menjemukan, dan ke-sengsaraan yang
seperti mengolok-olok nasib wong cilik. Apakah kesalahanku sama dengan stasiun
ini? Stasiun yang sudah tua, kelihatan pucat ditelan masa. Renta, jorok, tidak
terawat. Sosoknya yang dulu barangkali gagah, kini lemas kedinginan, berantakan.
Hujan semakin deras.
Suara kereta terdengar menderu dari kejauhan. Tak lama kemudian kulihat kereta
yang padat siap memuntahkan penumpangnya yang berjejalan, lalu serabutan menyerbu
dan memasuki stasiun. Pengeras suara mewartakan jalur yang akan dilintasi
kereta itu. Belum juga kereta itu berhenti benar, para penum-pang berhamburan
dari dalamnya. Muntahan kereta itu, tumpah-ruah memenuhi peron. Suara derap
sepatu dari para penumpang segera memecah kesunyian. Wajah-wajah lelah, bau
busuk keringat, dan pakaian yang lusuh, seperti berseliweran mengganggu mataku.
Di antara temaram
lampu-lampu yang menyinari stasiun, kudengar deru mobil sekali-sekali melintas
di bawah air hujan. Sementara itu, beberapa meter dari tempatku duduk, sekelom Tepat
di atas kepalaku tergantung sebuah tulisan yang tidak jelas hurufnya terbuat
dari seng, dengan ukuran kira-kira 20 x 30 sentimeter. Bergoyang-goyang terkena
hembusan angin. Kadang-kadang berbunyi lesu jika angin besar menghempasnya.
Tempat duduk berderet
di sepanjang stasiun. Di atas deretan tempat duduk itu, kokoh terbentang atap
seng sebagai pelindungnya. Semua penyangga dan tiangnya terbuat dari besi. Tetapi,
kurasakan stasiun ini agak berbeda. Tidak seperti waktu pertama kali aku
menginjakkan kaki di stasiun ini tiga tahun lalu. Cat temboknya tampak sudah
muram. Lantainya menggambarkan kejorokan, dan jalanan di sepanjang stasiun
becek tergenang air dan lumpur. Sampah yang berserak seperti telah menjadi
bagian penting dari kejorokan.
Sejurus pandanganku
tertanam pada rel kereta api. Serta merta kereta kembali terdengar. Tampak,
lampunya berkedip-kedip dari kejauhan. Selang beberapa menit kelihatanlah
kepala kereta dengan gerbong panjangnya. Astaga ada apa ini! Aku terkejut dan
bermaksud hendak lari menjauh. Kulihat si ular besi ini wujudnya menjadi lebih besar
dan semakin besar. Ukurannya kira-kira sepuluh kali lipat dari kereta biasa. Derunya
yang bergemuruh dan wujudnya yang besar lagi mengerikan, seakan hendak memakan
segala yang ada di depannya. Tanpa bisa ditahan lagi, entah bagaimana tiba-tiba
stasiun ditabraknya. Suara dahsyat yang luar biasa kerasnya, memecahkan
telingaku. Kereta tergelincir dan ambruk menyeruduk stasiun. Suara berderak- derak
dan kacau terdengar ditimpali beberapa kali ledakan. Stasiun hancur seketika, sementara
kereta terus menggerus semua benda yang menghalanginya. Api menyala di
sepanjang stasiun. Jeritan dan teriakan memekik menjadi sungguh-sungguh
menciptakan kengerian yang tak terperikan.
Dalam situasi seperti
itu, aku terpana di antara bengong, ketidakpercayaan, dan ketakutan pada penglihatanku
sendiri. Tangan dan kakiku gemetar. Nafas seakan terputus seketika itu. Kulihat
di sekelilingku, orang berlarian lintang pukang. Apakah ini kiamat? “Tolong!
Tolong!” Suara orang menjerit-jerit terdengar jelas di tengah hiruk-pikuk dan
teriakan histeris. Masih ada orang hidup, pikirku cepat. Dengan jantung yang
berdegup kencang, aku nekat mendekati suara itu. Tampak di depanku seorang
wanita tua terjepit di antara reruntuhan. Besi-besi yang menghimpitnya membuat
dia tak berdaya. Wajahnya kacau, sementara matanya tampak sedang meradang maut.
Aku segera
menghampirinya. Entah dapat kekuatan dari mana tiba-tiba saja badanku yang tadi
lemas, kini segar kembali. Dan luar biasa! Tenaganya seperti datang
berlipat-lipat ganda. Dengan enteng kubengkokkan besi yang menghimpit wanita
itu. Aku tak menyangka mempunyai kekuatan seperti ini. Di luar dugaan aku
berhasil menarik keluar wanita tua itu dari reruntuhan. Setelah berhasil
kuselamatkan, tampak tubuhnya bergetar. Mulutnya menganga. Nafasnya berat
terengah-engah. Sedang sekaratkah, pikirku. Dan tak lama kemudian dia diam.
Kugoyang-goyangkan kepalanya. Tetapi ia tetap diam. Badannya terasa makin
dingin. Inilah kematian yang mengenaskan!
Tak seberapa jauh dari
situ kulihat kepala yang lepas dari badannya. Darahnya mengalir. Rasanya aku
ingin berlari seketika itu juga. Mengerikan sekali! Aku terus mencari korban
yang mungkin masih hidup. Di antara langkahku yang tergesa-gesa, kulihat
korban-korban bergelimpangan di manamana. Tiba-tiba saja ada yang menabrakku
dari belakang. Aku jatuh dan tersungkur. Aku kaget. Kemudian, aku bangun.
Kulihat sesosok tubuh terkapar. Sembari menangis perempuan tua itu mencoba
bangkit. Kuangkat tubuhnya. Terlihat olehku mata orang ini berlumuran darah.
Suasana stasiun kini
menjadi lebih kacau. Orang-orang berdatangan. Seperti halnya aku, mereka juga
mencari korban yang ada di antara reruntuhan stasiun dan besi-besi kereta. Tak jarang
terdengar suara jeritan dan ketakutan. Di antara mereka ada yang mengais-ngais
potonganpotongan tubuh korban atau menyeret korban yang tewas.
Hujan masih saja turun.
Suasana duka terasa menyelimuti stasiun ini. Dari kejauhan kudengar suara
raungan mobil ambulans dan pemadam kebakaran. Para korban dilempar begitu saja
ke dalam mobil ambulans. Mereka yang masih hidup dilarikan segera. Sementara
yang meninggal dijejerkan di tempat yang agak terbuka. Suara tangis, rintihan
dan hiruk-pikuk yang tak jelas, terdengar di sana-sini dan terus memekakkan
telinga.
Sekali-kali kulihat
kaki, tangan, dan bahkan kepala bergelimpangan. Darahnya tampak masih segar.
Tak terbayangkan betapa shocknya aku pada saat itu. Mengapa hal seperti ini
harus kusaksikan? Rasanya aku tak mempercayainya segala yang kulihat saat ini.
Hujan sudah mulai reda.
Di beberapa bagian peron stasiun tampak orang masih berkerumun, ada juga yang
terus mencari korban. Setelah berapa lama, terdengar lagi suara kereta dari
kejauhan. Kami pun tersentak kaget. Tidak menyangka, dalam situasi yang porak
poranda seperti ini, masih juga ada kereta yang akan melintas stasiun ini.
Seharusnya jalur kereta ditutup untuk sementara, pikirku. Kami berlari tak tentu
arah. Suasana menjadi semakin kacau. Aku tidak lagi mempedulikan para
korban. Orang-orang yang tadi ikut membantu para korban, segera berlari menyelamatkan
diri.
Dari kejauhan kulihat
kereta melaju dengan kencang dari arah berlawanan dengan kereta yang tadi
menabrak. Anehnya kereta ini berjalan tidak melewati stasiun, melainkan
melintas menuju ke arah reruntuhan kereta yang tadi. Secara refleks, aku
melompat dan berlari tidak tentu arah. Suara teriakan dan jeritan tak
terelakkan lagi. Kutengok ke belakang. Kulihat kereta sudah semakin dekat. Aku
tersungkur, tak kuasa lagi berlari. Tetapi, masih sempat aku menjerit sekencangnya
sebelum sesuatu terjadi atas diriku.
“Bang! Ada apa?”
Sekonyong-konyong seseorang menegurku. Aku tersadar dan gelagapan. “Oh, tidak
... ! Tidak apa-apa!” jawabku sekenanya.
Orang itu pergi sambil
menggeleng-gelengkan kepala. Aku masih bingung. Kulihat stasiun yang tadi
hancur ternyata masih utuh. Kuperiksa anggota badanku, tidak apa-apa, juga
tidak mengalami luka apa pun. Lalu, bagaimana dengan peristiwa tadi?
Setengah sadar, aku beranjak bangun. Setengah
berlari kutinggalkan stasiun tanpa kuasa lagi menepis sisa mimpi yang masih
terasa mengejarku.
0 comments:
Posting Komentar